Villa yang dibangun abad 19 akhir ini digambarkan sebagai warisan
pemerintahan kolonial belanda.
Pada 1909, Richard William Hoower menempati Villa ini karena jabatannya sebagai Direktur
Perkebunan teh N.V Hermisz Ozette, satu perusahaan perkebunan milik kolonial yang sangat
berpengaruh di zaman itu. Villa yang berukuran besar itu berada diatas ketinggian 1900 meter dari
permukaan laut. Kang Abas sudah berkerja di Villa itu sejak dia berusia 10 tahun. Kini kang Abas
sudah berusia 78 tahun dan masih tetap setia menjaga Villa itu. Pak Hamid Ashari menceritakan
bahwa kang Abas itu adalah seorang yang menguasai ilmu keparanormalan secara turun temurun.
Pada senja hari tanggal 19 April 2001, Ujang, 41 tahun, menantu kang Abas mengantarkan saya
keluar Villa menuju mobil. Ujang membawakan mesin Jetpump yang rusak dan akan kami betulkan
di Jakarta. Sebelum mobil Nissan Terrano aku hidupkan, Ujang memberanikan diri bicara kepadaku.
“Ibu, boleh saya menginformasikan sesuatu?” tanya ujang sangat santun. Setelah terkesima sedikit,
aku pun memperbolehkan Ujang bicara. Dengan agak gugup sedikit menantu kang Abas itu
menyebut bahwa apakah aku telah tahu banyak menyangkut Villa ini. "Tahu tentang apa, Ujang?"
tanya Ku penasaran. "Maaf Bu, ibu bukan seorang yang penakut terhadap hal-hal yang ganjil kan?"
Tanya lagi. Setelah kujawab tidak takut, Ujang pun menceritakan bahwa Villa kenanga itu terkenal
sangat Angker dan mengerikan bagi warga Cisarua. Sebab, telah ratusan kali terjadi penampakan
makhluk gaib yang ditemui warga. Bahkan ada salah seorang warga yang sampai meninggal
mendadak karena ketakutan. Wafatnya warga bernama Sakinah itu, kata Ujang, memang bukan
karena dicekik atau dianiaya oleh makhluk gaib itu. Tapi meninggal setelah kaget dan ketakutan
melihat hantu tanpa kepala yang keluar dari halaman Villa. "Hantu tanpa kepala keluar dari halaman
Villa?" desakku, makin penasaran. "Iya bu, hantu tanpa kepala itu adalah hantu penghuni Villa milik
ibu ini, yang muncul setiap kali bulan purnama ke 14. Yaitu disaat bulan sangat terang dan besar di
atas Cisarua ini!" katanya. Aku tertawa terpingkal mendengar cerita Ujang itu. Jujur saja, batinku
sangat geli ketika siapapun mengambarkan makhluk gaib yang menampakkan diri, termasuk cerita
Ujang itu. Sebab, aku sangat tidak percaya adanya hantu. Apalagi bila dikatakan bahwa hantu itu
berwujud dan memperlihatkan rupanya kepada manusia yang hidup. Sebagai pemeluk agama yang
kuat, aku percaya bahwa adanya makhluk halus seperti malaikat atau jin. Alkitab yang kami percayai
memang menyebutkan bahwa adanya makhluk halus seperti itu, termasuk iblis yang juga tak pernah
terlihat oleh mata telanjang. Untuk hantu yang terlihat, aku sangat tidak percaya dan sangat tidak
yakin bahwa hal itu bisa terjadi. Maka itu, ketika melihat aku terpingkal, Ujang jadi terlihat malu dan
menundukkan kepalanya. "Ujang, mana ada hantu menampakkan diri, apalagi hantu berkepala
buntung. He..he..he! Ada-ada saja kamu ini Ujang!" candaku. Mendengar ucapanku itu, Ujang
terdiam dan dia tidak lagi melanjutkan ocehannya. "Maaf Bu, saya barangkali telah melakukan
sesuatu kesalahan terhadap ibu. Maksud saya bukan untuk menakut-nakuti ibu, tapi ingin agar ibu
tidak kaget bila selama tinggal di Villa ini ada hal yang aneh-aneh!" tukas Ujang, lirih. Kukatakan
pada Ujang bahwa aku tidak terpengaruh dengan ceritanya itu sama sekali. Bahkan kukatakan pada
Ujang, bahwa aku bukan cuma tidak takut, tapi aku sangat tidak yakin bahwa makhluk itu ada dan
sering menampakkan diri. Maka itu aku sangat berani tinggal disitu bermalam-malam. Tanggal 30
April kami bertiga ke Villa. Elia dan Marie kebetulan libur kuliah dan mereka mau nginap di Villa
yang baru kami beli. Karena banyak teman-temannya mau ikut, maka kuperbolehkan Elia dan Marie
mengajak teman-temannya. Tapi dengan syarat, kataku, semua teman yang diajak hanya wanita.
Tidak boleh ada satupun laki-laki yang turut serta. Karena memang teman mereka banyak wanita,
maka tidak ada satupun laki-laki yang diajak, kecuali seorang waria, Irwansyah yang gemulai dan
feminine. Dengan lima kendaraan, kami berangkat beriringan dari Pejaten, Jakarta Selatan menuju
Puncak, Jawa Barat. Elia dan Marie memilih mobil lain, sedangkan aku menyetir sendirian
membawa mobil Nissan Terrano, "Hati-hati Ma, kalau lihat cowok ganteng di pinggir jalan, jangan
sampai melotot ke pinggir, lalu di depan nabrak becak ya?" canda Elia. Memang anakku satu itu
selalu menggoda aku soal cowok, padahal aku tidak pernah tertarik satupun laki-laki selain Mas
Amir, suamiku dan ayah mereka yang sudah tiada. Pukul 11:30 menjelang tengah hari, kami semua
sudah sampai di Villa. Lima mobil diparkir berjejer dan kami membawa perlengkapan masuk.
Hari itu aku memerintahkan semua teman-teman Elia dan Marie termasuk mereka untuk bahu
membahu memasak. Ikan, daging serta sayuran dan beras telah tersedia lengkap di jip Terrano yang
aku stir. Kompor gas semua penuh dan kami siap memasak untuk santap siang. Pukul 13:50 kami
makan siang. Semua bersemangat karena perut sudah pada keroncongan. Semua gadis-gadis
termasuk Irwansyah sangat lahap makan dengan sambal dan lalapan khas. kang Abas dan anak
mantunya kami sediakan makanan di tempat yang lain. Mereka juga makan bareng dengan kami
walau tidak semeja. Habis makan, Ella, 24 tahun, anak Duta Besar RI di Argentina, teman kuliah
Marie main piano. Piano merek Hansneil buatan Austria itu aku kirim ke Villa setelah aku beli di
Bursa Alat Musik Melawai, Blok M. Aku dan Mas Amir memang senang piano, walau kami berdua
tidak bisa memainkannya. Di rumah, bahkan ada tiga piano beragam merek, jadi koleksi aku sejak
masih gadis. Karena suara piano dan semua bernyanyi, Villa kami jadi semarak. Habis bernyanyi-
nyanyi rombongan main di kolam renang. Dalam cuaca yang dingin itu, mereka berenang memakai
bikini. Walau disitu ada anak mantu kang Abas, mereka cuek saja, bercanda gila-gilaan di kolam.
Bahkan kang Abas menghindari wilayah kolam dan pulang ke rumahnya di sebelah pagar Villa.
Selepas makan malam, anak-anak bernyanyi lagi. Mereka juga menyalakan api tungku sebagai
pemanas udara yang sangat dingin.
Sementara anak mantu kang Abas, semuanya pulang ke rumah masing-masing. Pukul 24:00, semua
masuk ke kamar tidur. Sedangkan aku, yang mengambil kamar balkon, tidur sendirian, tak dapat
memajamkan mata. Entah kenapa, malam jumat pon yang sedang bulan purnama 14 itu, mataku tak
dapat terpejam. Bayanganku jauh menerawang ke sosok Mas Amir, mengenang saat-saat kami
berbulan madu di Puncak dan Bali. Tidak terasa, jam dimeja sofa menunjukkan angka 01:03 dinihari.
Tapi walau sudah menjelang pagi, mataku tak bisa terpejam juga. Sementara suasana sangat hening
dan sepi menyelimuti malam di Villa kami. Dengan langkah malas-malasan, aku berjalan menuju
jendela. Kubuka daun jendela dan kulongokkan pandangan ke luar. pemandangan luar malam itu
begitu indah. Bulan purnama 14 itu makin terlihat indah ketika semburan sinarnya menjilat dedaunan
kapuk di sebelah Villa. Sementara udara malam begitu dingin. Rasa dingin itu terasa merasuk ke
tulang belulangku dan mencubit-cubit. "Oh Tuhan, malam yang indah tapi malam yang sangat dingin
hari ini," desakku. Dari balik pohon kapuk, aku melihat sesuatu pemandangan yang agak aneh. Di
situ aku melihat seorang berdiri dengan sosok serba hitam. Tak salah lagi, pikirku, sosok itu adalah
manusia dan dia sedang memandang kepadaku. Dengan suara agak parau karena terlalu malam, aku
memanggil. "kang Abas? kang Abas kah itu?" tanyaku. Sosok hitam itu tidak bergeming. Dia tetap
berdiri di bawah pohon kapuk dan menatapku. "kang Abas?" desakku. Dalam hitungan beberapa
detik setelah aku memanggil, sosok itu tiba-tiba hilang bagaikan spiritus dilalap api. "Ah, ke mana
orang itu?" batinku. Ada perasaan gundah bergelantung di balik kalbuku. Ada sembilu tipis
menyayat relung batinku. Betulkah cerita Ujang itu benar-benar terjadi? Atau betulkah sosok itu
adalah hantu yang pernah dilihat oleh banyak warga? Ah, mana mungkin ada hantu, mana mungkin
makhluk halus bisa menampakkan diri, pikirku.
Tapi sosok itu bukanlah manusia biasa. Mana mungkin seseorang manusia bisa menghilang dalam
hitungan detik. Sementara mataku terus mengarah padanya tanpa kedip. Pada saat aku berpikir
tentang apa yang baru saja kulihat, jantungku dikejutkan oleh suara teriakan Irwansyah dari kamar
bawah. "Tolong, tolong, tolong!!!" teriak waria itu sangat keras.
Belum sempat menutup jendela, aku menghambur ke bawah. Kulihat Irwansyah pucat pasih
ketakutan. Irwansyah langsung memelukku dengan tubuh bergetar. "Hantu, hantu tante, ada hantu
dikamar saya!" pekiknya. "Apa? kamu mimpi Irwan, mana ada hantu di kamar itu. Mana ada hantu
menampakkan diri?" kataku. "Lihat, lihat lah Tante, hantu itu masih dalam kamar!" ujarnya. "Mari
ikut Tante, mana ada hantu di kamar ini, ayo, ikut Tante!" ajakku, sambil menarik tangannya. Tapi
Irwan ogah! Dia melepaskan tangannya karena takut masuk ke kamar itu lagi. Lalu aku sendiri yang
masuk ke kamar. Tanpa rasa takut sedikitpun aku melangkahkan kaki dengan pasti mendekati pintu.
Di dekat kaca rias, berdiri seorang bertubuh tinggi besar tanpa kepala. Sosok pria itu pastilah bukan
manusia biasa. Lampu kamar menyala terang dan dengan jelas aku melihat sosok pria memakai
mantel warna hitam itu. Sementara di tangan kanannya terlihat jelas pula, kepala manusia dengan
kusuran darah dan daging yang meleleh. Dua bola mata keluar, tercabut dari pangkal tempatnya. "Oh
Tuhan!" pekikku. Tapi aku masih mengucek-ucek mata dan mencubit pipiku. Benarkah aku sadar,
bukankah aku sedang bermimpi? Atau sedang mengigaukah aku. Atau sedang berhalusinasikah aku.
Tidak! Aku ternyata sadar dan tidak bermimpi. Ya, aku sedang berhadapan dengan hantu yang tak
kupercayai dari cerita Ujang itu. Ujang benar, Ujang betul dan tidak membual. Hantu itu benar ada
dan bisa menampakkan diri dan menakut-nakuti manusia yang hidup. Elia, Marie dan enam
temannya semua terbangun. Pagi dinihari itu mereka semua melihat sosok pria memegang kepala
dan muka tercobek-cabik itu.
Herlina dan Endine, terjatuh ke lantai dan pingsan setelah melihat pemandangan mengerikan itu.
Dalam hitungan detik setelah beberapa orang tumbang, makhluk itu menghilang entah kemana.
Aku berteriak keras memanggil kang Abas di sebelah pagar Villa, tapi kang Abas dan
anak mantunya tidak mendengarkan suara kami. Hingga pagi hari semua tak dapat tidur. Semua
berkumpul di ruang tamu dan berpelukan dengan ketakutan. Teror itu tidak sampai disini saja, tak
lama kemudian, piano berbunyi sendiri memainkan lagu In Fancy Sezoprano. Semua mata kami
serempak ke arah piano. Tak ada satupun manusia yang terlihat sedang memainkan alat musik itu.
Kami makin ketakutan. Semua menutup dan berpelukan di permadani sambil menangis. Suara piano
itu makin lama makin keras dan mataku penasaran melihat lokasi itu. Kulihat dengan jelas sosok pria
tanpa kepala itu duduk di bangku piano dan satu tangannya tetap memegang kepalanya yang
terpotong. Aku kembali menutup mataku dan memeluk dua anakku dan teman-temannya. Jujur saja,
baru kali inilah aku takut. Ya, benar, kali ini pula aku gentar terhadap lingkungan. Kesombonganku
yang selama ini kokoh, hancur lebur malam itu oleh makhluk aneh dan ajaib yang disebut hantu
tanpa kepala itu. Saat ayam berkokok, kami dikejutkan lagi oleh suara yang lain. Hantu tanpa kepala
itu berbunyi ngorok seperti bunyi suara singa terluka. Batinku makin miris, nyaliku semakin ciut.
Sementara jantung terus berdebar seakan detak lonceng kematian bertanda akhir hayat. Matilah
kami, matilah kami beramai-ramai pagi ini! Suara batinku berguncang. Saat matahari yang sinarnya
terlihat masuk di balik kisi-kisi timur dinding Villa, aku mendengar suara kang Abas mengeluarkan
kuda-kuda kami. Aku berteriak sekeras-kerasnya memanggil kang Abas dan kang Abas masuk dari
pintu belakang yang kunci duplikatnya dia pegang. Kang Abas kami peluk dan kami ceritakan apa
yang kami temukan. Kang Abas langsung pucat pasih dan terbata-bata meminta maaf kepadaku. Dia
meminta maaf karena sebelumnya tidak memberitahukan tentang sosok makhluk gaib itu kepadaku.
Apalagi, saat kami menginap di bulan purnama ke 14. Sebab dia hanya muncul di bulan purnama 14
dan seharusnya, kata kang Abas, menghindari Villa di malam terang benderang itu. “Karena ibu baru
memiliki Villa ini, bila saya bercerita dan menyarankan jangan menginap di bulan purnama, takut
ibu salah sangka kepada kami. Dengan bertemunya secara langsung dengan makhluk itu, barangkali
ibu barulah percaya bahwa ada makhluk alam lain di sekitar hidup kita dan bisa berwujud. Bukankah
mantu saya Ujang sudah mengambarkan hal itu pada ibu?” lirih kang Abas. Sejak itu, aku percaya
adanya makhluk alam gaib yang sewaktu-waktu, bila tuhan berkehendak, maka makhluk itu akan
muncul, makhluk itu akan menampakkan diri dan dilihat secara kasat mata. Kekokohan pendirian,
kekuatan rasa ketidakpercayaanku, kini pudar sudah. Dan aku harus mengakuinya, bahwa mereka
memang ada dan bisa kontak dengan kita yang hidup.
Hantu tanpa kepala itu adalah sosok arwah Richard William Hoower, pemilik Villa asal belanda yang
mati dipotong leher oleh jawara Banteng. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1911, dua tahun setelah Sir
Richard menempati rumah perkebunan teh itu. Richard yang duda tanpa anak, dibunuh dalam suatu
perkelahian di kebun dengan mandor kebun pribumi yang diperlakukan dengan kasar olehnya.
Seminggu setelah jenazahnya dikirim ke Hilversum, Netherland, arwah Richard muncul dengan
khasnya, mantel hitam dengan memegang kepalanya sendiri. Richard terus-terusan menampakkan
diri setiap kali bulan purnama 14 di Villa Kenanga. “Hanya di malam itu dia muncul, malam lain
tidak!” kata kang Abas. Kenapa hanya di bulan purnama 14 arwah Richard berwujud, dikatakan oleh
kang Abas, bahwa pembunuhan terhadap bangsa belanda itu terjadi di malam bulan purnama ke 14,
saat desa-desa di Cisarua begitu terang dan tenang. Ketenangan itu tiba-tiba gaduh karena
pembunuhan mengerikan itu terjadi. Jawara itu memotong kepala Richard hingga terlepas dari
lehernya. Hingga sekarang, aku dan anak-anak tidak pernah lagi datang ke Villa untuk menginap.
Kami hanya datang pagi dan pulang sore hari. Walau bukan di bulan purnama ke 14, kami tetap tidak
berani bersantai di Villa itu. Tempat itu hanya kami jadikan berkebunan dan tempat singgah di siang
hari bila ke Puncak. Sedang untuk menginap, kami memilih hotel yang aman dari hantu-hantu.
Pada 1909, Richard William Hoower menempati Villa ini karena jabatannya sebagai Direktur
Perkebunan teh N.V Hermisz Ozette, satu perusahaan perkebunan milik kolonial yang sangat
berpengaruh di zaman itu. Villa yang berukuran besar itu berada diatas ketinggian 1900 meter dari
permukaan laut. Kang Abas sudah berkerja di Villa itu sejak dia berusia 10 tahun. Kini kang Abas
sudah berusia 78 tahun dan masih tetap setia menjaga Villa itu. Pak Hamid Ashari menceritakan
bahwa kang Abas itu adalah seorang yang menguasai ilmu keparanormalan secara turun temurun.
Pada senja hari tanggal 19 April 2001, Ujang, 41 tahun, menantu kang Abas mengantarkan saya
keluar Villa menuju mobil. Ujang membawakan mesin Jetpump yang rusak dan akan kami betulkan
di Jakarta. Sebelum mobil Nissan Terrano aku hidupkan, Ujang memberanikan diri bicara kepadaku.
“Ibu, boleh saya menginformasikan sesuatu?” tanya ujang sangat santun. Setelah terkesima sedikit,
aku pun memperbolehkan Ujang bicara. Dengan agak gugup sedikit menantu kang Abas itu
menyebut bahwa apakah aku telah tahu banyak menyangkut Villa ini. "Tahu tentang apa, Ujang?"
tanya Ku penasaran. "Maaf Bu, ibu bukan seorang yang penakut terhadap hal-hal yang ganjil kan?"
Tanya lagi. Setelah kujawab tidak takut, Ujang pun menceritakan bahwa Villa kenanga itu terkenal
sangat Angker dan mengerikan bagi warga Cisarua. Sebab, telah ratusan kali terjadi penampakan
makhluk gaib yang ditemui warga. Bahkan ada salah seorang warga yang sampai meninggal
mendadak karena ketakutan. Wafatnya warga bernama Sakinah itu, kata Ujang, memang bukan
karena dicekik atau dianiaya oleh makhluk gaib itu. Tapi meninggal setelah kaget dan ketakutan
melihat hantu tanpa kepala yang keluar dari halaman Villa. "Hantu tanpa kepala keluar dari halaman
Villa?" desakku, makin penasaran. "Iya bu, hantu tanpa kepala itu adalah hantu penghuni Villa milik
ibu ini, yang muncul setiap kali bulan purnama ke 14. Yaitu disaat bulan sangat terang dan besar di
atas Cisarua ini!" katanya. Aku tertawa terpingkal mendengar cerita Ujang itu. Jujur saja, batinku
sangat geli ketika siapapun mengambarkan makhluk gaib yang menampakkan diri, termasuk cerita
Ujang itu. Sebab, aku sangat tidak percaya adanya hantu. Apalagi bila dikatakan bahwa hantu itu
berwujud dan memperlihatkan rupanya kepada manusia yang hidup. Sebagai pemeluk agama yang
kuat, aku percaya bahwa adanya makhluk halus seperti malaikat atau jin. Alkitab yang kami percayai
memang menyebutkan bahwa adanya makhluk halus seperti itu, termasuk iblis yang juga tak pernah
terlihat oleh mata telanjang. Untuk hantu yang terlihat, aku sangat tidak percaya dan sangat tidak
yakin bahwa hal itu bisa terjadi. Maka itu, ketika melihat aku terpingkal, Ujang jadi terlihat malu dan
menundukkan kepalanya. "Ujang, mana ada hantu menampakkan diri, apalagi hantu berkepala
buntung. He..he..he! Ada-ada saja kamu ini Ujang!" candaku. Mendengar ucapanku itu, Ujang
terdiam dan dia tidak lagi melanjutkan ocehannya. "Maaf Bu, saya barangkali telah melakukan
sesuatu kesalahan terhadap ibu. Maksud saya bukan untuk menakut-nakuti ibu, tapi ingin agar ibu
tidak kaget bila selama tinggal di Villa ini ada hal yang aneh-aneh!" tukas Ujang, lirih. Kukatakan
pada Ujang bahwa aku tidak terpengaruh dengan ceritanya itu sama sekali. Bahkan kukatakan pada
Ujang, bahwa aku bukan cuma tidak takut, tapi aku sangat tidak yakin bahwa makhluk itu ada dan
sering menampakkan diri. Maka itu aku sangat berani tinggal disitu bermalam-malam. Tanggal 30
April kami bertiga ke Villa. Elia dan Marie kebetulan libur kuliah dan mereka mau nginap di Villa
yang baru kami beli. Karena banyak teman-temannya mau ikut, maka kuperbolehkan Elia dan Marie
mengajak teman-temannya. Tapi dengan syarat, kataku, semua teman yang diajak hanya wanita.
Tidak boleh ada satupun laki-laki yang turut serta. Karena memang teman mereka banyak wanita,
maka tidak ada satupun laki-laki yang diajak, kecuali seorang waria, Irwansyah yang gemulai dan
feminine. Dengan lima kendaraan, kami berangkat beriringan dari Pejaten, Jakarta Selatan menuju
Puncak, Jawa Barat. Elia dan Marie memilih mobil lain, sedangkan aku menyetir sendirian
membawa mobil Nissan Terrano, "Hati-hati Ma, kalau lihat cowok ganteng di pinggir jalan, jangan
sampai melotot ke pinggir, lalu di depan nabrak becak ya?" canda Elia. Memang anakku satu itu
selalu menggoda aku soal cowok, padahal aku tidak pernah tertarik satupun laki-laki selain Mas
Amir, suamiku dan ayah mereka yang sudah tiada. Pukul 11:30 menjelang tengah hari, kami semua
sudah sampai di Villa. Lima mobil diparkir berjejer dan kami membawa perlengkapan masuk.
Hari itu aku memerintahkan semua teman-teman Elia dan Marie termasuk mereka untuk bahu
membahu memasak. Ikan, daging serta sayuran dan beras telah tersedia lengkap di jip Terrano yang
aku stir. Kompor gas semua penuh dan kami siap memasak untuk santap siang. Pukul 13:50 kami
makan siang. Semua bersemangat karena perut sudah pada keroncongan. Semua gadis-gadis
termasuk Irwansyah sangat lahap makan dengan sambal dan lalapan khas. kang Abas dan anak
mantunya kami sediakan makanan di tempat yang lain. Mereka juga makan bareng dengan kami
walau tidak semeja. Habis makan, Ella, 24 tahun, anak Duta Besar RI di Argentina, teman kuliah
Marie main piano. Piano merek Hansneil buatan Austria itu aku kirim ke Villa setelah aku beli di
Bursa Alat Musik Melawai, Blok M. Aku dan Mas Amir memang senang piano, walau kami berdua
tidak bisa memainkannya. Di rumah, bahkan ada tiga piano beragam merek, jadi koleksi aku sejak
masih gadis. Karena suara piano dan semua bernyanyi, Villa kami jadi semarak. Habis bernyanyi-
nyanyi rombongan main di kolam renang. Dalam cuaca yang dingin itu, mereka berenang memakai
bikini. Walau disitu ada anak mantu kang Abas, mereka cuek saja, bercanda gila-gilaan di kolam.
Bahkan kang Abas menghindari wilayah kolam dan pulang ke rumahnya di sebelah pagar Villa.
Selepas makan malam, anak-anak bernyanyi lagi. Mereka juga menyalakan api tungku sebagai
pemanas udara yang sangat dingin.
Sementara anak mantu kang Abas, semuanya pulang ke rumah masing-masing. Pukul 24:00, semua
masuk ke kamar tidur. Sedangkan aku, yang mengambil kamar balkon, tidur sendirian, tak dapat
memajamkan mata. Entah kenapa, malam jumat pon yang sedang bulan purnama 14 itu, mataku tak
dapat terpejam. Bayanganku jauh menerawang ke sosok Mas Amir, mengenang saat-saat kami
berbulan madu di Puncak dan Bali. Tidak terasa, jam dimeja sofa menunjukkan angka 01:03 dinihari.
Tapi walau sudah menjelang pagi, mataku tak bisa terpejam juga. Sementara suasana sangat hening
dan sepi menyelimuti malam di Villa kami. Dengan langkah malas-malasan, aku berjalan menuju
jendela. Kubuka daun jendela dan kulongokkan pandangan ke luar. pemandangan luar malam itu
begitu indah. Bulan purnama 14 itu makin terlihat indah ketika semburan sinarnya menjilat dedaunan
kapuk di sebelah Villa. Sementara udara malam begitu dingin. Rasa dingin itu terasa merasuk ke
tulang belulangku dan mencubit-cubit. "Oh Tuhan, malam yang indah tapi malam yang sangat dingin
hari ini," desakku. Dari balik pohon kapuk, aku melihat sesuatu pemandangan yang agak aneh. Di
situ aku melihat seorang berdiri dengan sosok serba hitam. Tak salah lagi, pikirku, sosok itu adalah
manusia dan dia sedang memandang kepadaku. Dengan suara agak parau karena terlalu malam, aku
memanggil. "kang Abas? kang Abas kah itu?" tanyaku. Sosok hitam itu tidak bergeming. Dia tetap
berdiri di bawah pohon kapuk dan menatapku. "kang Abas?" desakku. Dalam hitungan beberapa
detik setelah aku memanggil, sosok itu tiba-tiba hilang bagaikan spiritus dilalap api. "Ah, ke mana
orang itu?" batinku. Ada perasaan gundah bergelantung di balik kalbuku. Ada sembilu tipis
menyayat relung batinku. Betulkah cerita Ujang itu benar-benar terjadi? Atau betulkah sosok itu
adalah hantu yang pernah dilihat oleh banyak warga? Ah, mana mungkin ada hantu, mana mungkin
makhluk halus bisa menampakkan diri, pikirku.
Tapi sosok itu bukanlah manusia biasa. Mana mungkin seseorang manusia bisa menghilang dalam
hitungan detik. Sementara mataku terus mengarah padanya tanpa kedip. Pada saat aku berpikir
tentang apa yang baru saja kulihat, jantungku dikejutkan oleh suara teriakan Irwansyah dari kamar
bawah. "Tolong, tolong, tolong!!!" teriak waria itu sangat keras.
Belum sempat menutup jendela, aku menghambur ke bawah. Kulihat Irwansyah pucat pasih
ketakutan. Irwansyah langsung memelukku dengan tubuh bergetar. "Hantu, hantu tante, ada hantu
dikamar saya!" pekiknya. "Apa? kamu mimpi Irwan, mana ada hantu di kamar itu. Mana ada hantu
menampakkan diri?" kataku. "Lihat, lihat lah Tante, hantu itu masih dalam kamar!" ujarnya. "Mari
ikut Tante, mana ada hantu di kamar ini, ayo, ikut Tante!" ajakku, sambil menarik tangannya. Tapi
Irwan ogah! Dia melepaskan tangannya karena takut masuk ke kamar itu lagi. Lalu aku sendiri yang
masuk ke kamar. Tanpa rasa takut sedikitpun aku melangkahkan kaki dengan pasti mendekati pintu.
Di dekat kaca rias, berdiri seorang bertubuh tinggi besar tanpa kepala. Sosok pria itu pastilah bukan
manusia biasa. Lampu kamar menyala terang dan dengan jelas aku melihat sosok pria memakai
mantel warna hitam itu. Sementara di tangan kanannya terlihat jelas pula, kepala manusia dengan
kusuran darah dan daging yang meleleh. Dua bola mata keluar, tercabut dari pangkal tempatnya. "Oh
Tuhan!" pekikku. Tapi aku masih mengucek-ucek mata dan mencubit pipiku. Benarkah aku sadar,
bukankah aku sedang bermimpi? Atau sedang mengigaukah aku. Atau sedang berhalusinasikah aku.
Tidak! Aku ternyata sadar dan tidak bermimpi. Ya, aku sedang berhadapan dengan hantu yang tak
kupercayai dari cerita Ujang itu. Ujang benar, Ujang betul dan tidak membual. Hantu itu benar ada
dan bisa menampakkan diri dan menakut-nakuti manusia yang hidup. Elia, Marie dan enam
temannya semua terbangun. Pagi dinihari itu mereka semua melihat sosok pria memegang kepala
dan muka tercobek-cabik itu.
Herlina dan Endine, terjatuh ke lantai dan pingsan setelah melihat pemandangan mengerikan itu.
Dalam hitungan detik setelah beberapa orang tumbang, makhluk itu menghilang entah kemana.
Aku berteriak keras memanggil kang Abas di sebelah pagar Villa, tapi kang Abas dan
anak mantunya tidak mendengarkan suara kami. Hingga pagi hari semua tak dapat tidur. Semua
berkumpul di ruang tamu dan berpelukan dengan ketakutan. Teror itu tidak sampai disini saja, tak
lama kemudian, piano berbunyi sendiri memainkan lagu In Fancy Sezoprano. Semua mata kami
serempak ke arah piano. Tak ada satupun manusia yang terlihat sedang memainkan alat musik itu.
Kami makin ketakutan. Semua menutup dan berpelukan di permadani sambil menangis. Suara piano
itu makin lama makin keras dan mataku penasaran melihat lokasi itu. Kulihat dengan jelas sosok pria
tanpa kepala itu duduk di bangku piano dan satu tangannya tetap memegang kepalanya yang
terpotong. Aku kembali menutup mataku dan memeluk dua anakku dan teman-temannya. Jujur saja,
baru kali inilah aku takut. Ya, benar, kali ini pula aku gentar terhadap lingkungan. Kesombonganku
yang selama ini kokoh, hancur lebur malam itu oleh makhluk aneh dan ajaib yang disebut hantu
tanpa kepala itu. Saat ayam berkokok, kami dikejutkan lagi oleh suara yang lain. Hantu tanpa kepala
itu berbunyi ngorok seperti bunyi suara singa terluka. Batinku makin miris, nyaliku semakin ciut.
Sementara jantung terus berdebar seakan detak lonceng kematian bertanda akhir hayat. Matilah
kami, matilah kami beramai-ramai pagi ini! Suara batinku berguncang. Saat matahari yang sinarnya
terlihat masuk di balik kisi-kisi timur dinding Villa, aku mendengar suara kang Abas mengeluarkan
kuda-kuda kami. Aku berteriak sekeras-kerasnya memanggil kang Abas dan kang Abas masuk dari
pintu belakang yang kunci duplikatnya dia pegang. Kang Abas kami peluk dan kami ceritakan apa
yang kami temukan. Kang Abas langsung pucat pasih dan terbata-bata meminta maaf kepadaku. Dia
meminta maaf karena sebelumnya tidak memberitahukan tentang sosok makhluk gaib itu kepadaku.
Apalagi, saat kami menginap di bulan purnama ke 14. Sebab dia hanya muncul di bulan purnama 14
dan seharusnya, kata kang Abas, menghindari Villa di malam terang benderang itu. “Karena ibu baru
memiliki Villa ini, bila saya bercerita dan menyarankan jangan menginap di bulan purnama, takut
ibu salah sangka kepada kami. Dengan bertemunya secara langsung dengan makhluk itu, barangkali
ibu barulah percaya bahwa ada makhluk alam lain di sekitar hidup kita dan bisa berwujud. Bukankah
mantu saya Ujang sudah mengambarkan hal itu pada ibu?” lirih kang Abas. Sejak itu, aku percaya
adanya makhluk alam gaib yang sewaktu-waktu, bila tuhan berkehendak, maka makhluk itu akan
muncul, makhluk itu akan menampakkan diri dan dilihat secara kasat mata. Kekokohan pendirian,
kekuatan rasa ketidakpercayaanku, kini pudar sudah. Dan aku harus mengakuinya, bahwa mereka
memang ada dan bisa kontak dengan kita yang hidup.
Hantu tanpa kepala itu adalah sosok arwah Richard William Hoower, pemilik Villa asal belanda yang
mati dipotong leher oleh jawara Banteng. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1911, dua tahun setelah Sir
Richard menempati rumah perkebunan teh itu. Richard yang duda tanpa anak, dibunuh dalam suatu
perkelahian di kebun dengan mandor kebun pribumi yang diperlakukan dengan kasar olehnya.
Seminggu setelah jenazahnya dikirim ke Hilversum, Netherland, arwah Richard muncul dengan
khasnya, mantel hitam dengan memegang kepalanya sendiri. Richard terus-terusan menampakkan
diri setiap kali bulan purnama 14 di Villa Kenanga. “Hanya di malam itu dia muncul, malam lain
tidak!” kata kang Abas. Kenapa hanya di bulan purnama 14 arwah Richard berwujud, dikatakan oleh
kang Abas, bahwa pembunuhan terhadap bangsa belanda itu terjadi di malam bulan purnama ke 14,
saat desa-desa di Cisarua begitu terang dan tenang. Ketenangan itu tiba-tiba gaduh karena
pembunuhan mengerikan itu terjadi. Jawara itu memotong kepala Richard hingga terlepas dari
lehernya. Hingga sekarang, aku dan anak-anak tidak pernah lagi datang ke Villa untuk menginap.
Kami hanya datang pagi dan pulang sore hari. Walau bukan di bulan purnama ke 14, kami tetap tidak
berani bersantai di Villa itu. Tempat itu hanya kami jadikan berkebunan dan tempat singgah di siang
hari bila ke Puncak. Sedang untuk menginap, kami memilih hotel yang aman dari hantu-hantu.
0 komentar:
Posting Komentar