Hantu Kepala Buntung

Posted by

Villa yang dibangun abad 19 akhir ini digambarkan sebagai warisan pemerintahan kolonial belanda.

Pada 1909, Richard William Hoower menempati Villa ini karena jabatannya sebagai Direktur

Perkebunan teh N.V Hermisz Ozette, satu perusahaan perkebunan milik kolonial yang sangat

berpengaruh di zaman itu. Villa yang berukuran besar itu berada diatas ketinggian 1900 meter dari

permukaan laut. Kang Abas sudah berkerja di Villa itu sejak dia berusia 10 tahun. Kini kang Abas

sudah berusia 78 tahun dan masih tetap setia menjaga Villa itu. Pak Hamid Ashari menceritakan

bahwa kang Abas itu adalah seorang yang menguasai ilmu keparanormalan secara turun temurun.

Pada senja hari tanggal 19 April 2001, Ujang, 41 tahun, menantu kang Abas mengantarkan saya

keluar Villa menuju mobil. Ujang membawakan mesin Jetpump yang rusak dan akan kami betulkan

di Jakarta. Sebelum mobil Nissan Terrano aku hidupkan, Ujang memberanikan diri bicara kepadaku.

“Ibu, boleh saya menginformasikan sesuatu?” tanya ujang sangat santun. Setelah terkesima sedikit,


aku pun memperbolehkan Ujang bicara. Dengan agak gugup sedikit menantu kang Abas itu

menyebut bahwa apakah aku telah tahu banyak menyangkut Villa ini. "Tahu tentang apa, Ujang?"

tanya Ku penasaran. "Maaf Bu, ibu bukan seorang yang penakut terhadap hal-hal yang ganjil kan?"

Tanya lagi. Setelah kujawab tidak takut, Ujang pun menceritakan bahwa Villa kenanga itu terkenal

sangat Angker dan mengerikan bagi warga Cisarua. Sebab, telah ratusan kali terjadi penampakan

makhluk gaib yang ditemui warga. Bahkan ada salah seorang warga yang sampai meninggal

mendadak karena ketakutan. Wafatnya warga bernama Sakinah itu, kata Ujang, memang bukan

karena dicekik atau dianiaya oleh makhluk gaib itu. Tapi meninggal setelah kaget dan ketakutan

melihat hantu tanpa kepala yang keluar dari halaman Villa. "Hantu tanpa kepala keluar dari halaman

Villa?" desakku, makin penasaran. "Iya bu, hantu tanpa kepala itu adalah hantu penghuni Villa milik

ibu ini, yang muncul setiap kali bulan purnama ke 14. Yaitu disaat bulan sangat terang dan besar di

atas Cisarua ini!" katanya. Aku tertawa terpingkal mendengar cerita Ujang itu. Jujur saja, batinku

sangat geli ketika siapapun mengambarkan makhluk gaib yang menampakkan diri, termasuk cerita

Ujang itu. Sebab, aku sangat tidak percaya adanya hantu. Apalagi bila dikatakan bahwa hantu itu

berwujud dan memperlihatkan rupanya kepada manusia yang hidup. Sebagai pemeluk agama yang

kuat, aku percaya bahwa adanya makhluk halus seperti malaikat atau jin. Alkitab yang kami percayai

memang menyebutkan bahwa adanya makhluk halus seperti itu, termasuk iblis yang juga tak pernah

terlihat oleh mata telanjang. Untuk hantu yang terlihat, aku sangat tidak percaya dan sangat tidak

yakin bahwa hal itu bisa terjadi. Maka itu, ketika melihat aku terpingkal, Ujang jadi terlihat malu dan

menundukkan kepalanya. "Ujang, mana ada hantu menampakkan diri, apalagi hantu berkepala

buntung. He..he..he! Ada-ada saja kamu ini Ujang!" candaku. Mendengar ucapanku itu, Ujang

terdiam dan dia tidak lagi melanjutkan ocehannya. "Maaf Bu, saya barangkali telah melakukan

sesuatu kesalahan terhadap ibu. Maksud saya bukan untuk menakut-nakuti ibu, tapi ingin agar ibu

tidak kaget bila selama tinggal di Villa ini ada hal yang aneh-aneh!" tukas Ujang, lirih. Kukatakan

pada Ujang bahwa aku tidak terpengaruh dengan ceritanya itu sama sekali. Bahkan kukatakan pada

Ujang, bahwa aku bukan cuma tidak takut, tapi aku sangat tidak yakin bahwa makhluk itu ada dan

sering menampakkan diri. Maka itu aku sangat berani tinggal disitu bermalam-malam. Tanggal 30

April kami bertiga ke Villa. Elia dan Marie kebetulan libur kuliah dan mereka mau nginap di Villa

yang baru kami beli. Karena banyak teman-temannya mau ikut, maka kuperbolehkan Elia dan Marie

mengajak teman-temannya. Tapi dengan syarat, kataku, semua teman yang diajak hanya wanita.

Tidak boleh ada satupun laki-laki yang turut serta. Karena memang teman mereka banyak wanita,

maka tidak ada satupun laki-laki yang diajak, kecuali seorang waria, Irwansyah yang gemulai dan

feminine. Dengan lima kendaraan, kami berangkat beriringan dari Pejaten, Jakarta Selatan menuju

Puncak, Jawa Barat. Elia dan Marie memilih mobil lain, sedangkan aku menyetir sendirian

membawa mobil Nissan Terrano, "Hati-hati Ma, kalau lihat cowok ganteng di pinggir jalan, jangan

sampai melotot ke pinggir, lalu di depan nabrak becak ya?" canda Elia. Memang anakku satu itu

selalu menggoda aku soal cowok, padahal aku tidak pernah tertarik satupun laki-laki selain Mas

Amir, suamiku dan ayah mereka yang sudah tiada. Pukul 11:30 menjelang tengah hari, kami semua

sudah sampai di Villa. Lima mobil diparkir berjejer dan kami membawa perlengkapan masuk.

Hari itu aku memerintahkan semua teman-teman Elia dan Marie termasuk mereka untuk bahu

membahu memasak. Ikan, daging serta sayuran dan beras telah tersedia lengkap di jip Terrano yang

aku stir. Kompor gas semua penuh dan kami siap memasak untuk santap siang. Pukul 13:50 kami

makan siang. Semua bersemangat karena perut sudah pada keroncongan. Semua gadis-gadis

termasuk Irwansyah sangat lahap makan dengan sambal dan lalapan khas. kang Abas dan anak

mantunya kami sediakan makanan di tempat yang lain. Mereka juga makan bareng dengan kami

walau tidak semeja. Habis makan, Ella, 24 tahun, anak Duta Besar RI di Argentina, teman kuliah

Marie main piano. Piano merek Hansneil buatan Austria itu aku kirim ke Villa setelah aku beli di

Bursa Alat Musik Melawai, Blok M. Aku dan Mas Amir memang senang piano, walau kami berdua

tidak bisa memainkannya. Di rumah, bahkan ada tiga piano beragam merek, jadi koleksi aku sejak

masih gadis. Karena suara piano dan semua bernyanyi, Villa kami jadi semarak. Habis bernyanyi-

nyanyi rombongan main di kolam renang. Dalam cuaca yang dingin itu, mereka berenang memakai

bikini. Walau disitu ada anak mantu kang Abas, mereka cuek saja, bercanda gila-gilaan di kolam.

Bahkan kang Abas menghindari wilayah kolam dan pulang ke rumahnya di sebelah pagar Villa.

Selepas makan malam, anak-anak bernyanyi lagi. Mereka juga menyalakan api tungku sebagai

pemanas udara yang sangat dingin.

Sementara anak mantu kang Abas, semuanya pulang ke rumah masing-masing. Pukul 24:00, semua

masuk ke kamar tidur. Sedangkan aku, yang mengambil kamar balkon, tidur sendirian, tak dapat

memajamkan mata. Entah kenapa, malam jumat pon yang sedang bulan purnama 14 itu, mataku tak

dapat terpejam. Bayanganku jauh menerawang ke sosok Mas Amir, mengenang saat-saat kami

berbulan madu di Puncak dan Bali. Tidak terasa, jam dimeja sofa menunjukkan angka 01:03 dinihari.

Tapi walau sudah menjelang pagi, mataku tak bisa terpejam juga. Sementara suasana sangat hening

dan sepi menyelimuti malam di Villa kami. Dengan langkah malas-malasan, aku berjalan menuju

jendela. Kubuka daun jendela dan kulongokkan pandangan ke luar. pemandangan luar malam itu

begitu indah. Bulan purnama 14 itu makin terlihat indah ketika semburan sinarnya menjilat dedaunan

kapuk di sebelah Villa. Sementara udara malam begitu dingin. Rasa dingin itu terasa merasuk ke

tulang belulangku dan mencubit-cubit. "Oh Tuhan, malam yang indah tapi malam yang sangat dingin

hari ini," desakku. Dari balik pohon kapuk, aku melihat sesuatu pemandangan yang agak aneh. Di

situ aku melihat seorang berdiri dengan sosok serba hitam. Tak salah lagi, pikirku, sosok itu adalah

manusia dan dia sedang memandang kepadaku. Dengan suara agak parau karena terlalu malam, aku

memanggil. "kang Abas? kang Abas kah itu?" tanyaku. Sosok hitam itu tidak bergeming. Dia tetap

berdiri di bawah pohon kapuk dan menatapku. "kang Abas?" desakku. Dalam hitungan beberapa

detik setelah aku memanggil, sosok itu tiba-tiba hilang bagaikan spiritus dilalap api. "Ah, ke mana

orang itu?" batinku. Ada perasaan gundah bergelantung di balik kalbuku. Ada sembilu tipis

menyayat relung batinku. Betulkah cerita Ujang itu benar-benar terjadi? Atau betulkah sosok itu

adalah hantu yang pernah dilihat oleh banyak warga? Ah, mana mungkin ada hantu, mana mungkin

makhluk halus bisa menampakkan diri, pikirku.

Tapi sosok itu bukanlah manusia biasa. Mana mungkin seseorang manusia bisa menghilang dalam

hitungan detik. Sementara mataku terus mengarah padanya tanpa kedip. Pada saat aku berpikir

tentang apa yang baru saja kulihat, jantungku dikejutkan oleh suara teriakan Irwansyah dari kamar

bawah. "Tolong, tolong, tolong!!!" teriak waria itu sangat keras.

Belum sempat menutup jendela, aku menghambur ke bawah. Kulihat Irwansyah pucat pasih

ketakutan. Irwansyah langsung memelukku dengan tubuh bergetar. "Hantu, hantu tante, ada hantu

dikamar saya!" pekiknya. "Apa? kamu mimpi Irwan, mana ada hantu di kamar itu. Mana ada hantu

menampakkan diri?" kataku. "Lihat, lihat lah Tante, hantu itu masih dalam kamar!" ujarnya. "Mari

ikut Tante, mana ada hantu di kamar ini, ayo, ikut Tante!" ajakku, sambil menarik tangannya. Tapi

Irwan ogah! Dia melepaskan tangannya karena takut masuk ke kamar itu lagi. Lalu aku sendiri yang

masuk ke kamar. Tanpa rasa takut sedikitpun aku melangkahkan kaki dengan pasti mendekati pintu.

Di dekat kaca rias, berdiri seorang bertubuh tinggi besar tanpa kepala. Sosok pria itu pastilah bukan

manusia biasa. Lampu kamar menyala terang dan dengan jelas aku melihat sosok pria memakai

mantel warna hitam itu. Sementara di tangan kanannya terlihat jelas pula, kepala manusia dengan

kusuran darah dan daging yang meleleh. Dua bola mata keluar, tercabut dari pangkal tempatnya. "Oh

Tuhan!" pekikku. Tapi aku masih mengucek-ucek mata dan mencubit pipiku. Benarkah aku sadar,

bukankah aku sedang bermimpi? Atau sedang mengigaukah aku. Atau sedang berhalusinasikah aku.

Tidak! Aku ternyata sadar dan tidak bermimpi. Ya, aku sedang berhadapan dengan hantu yang tak

kupercayai dari cerita Ujang itu. Ujang benar, Ujang betul dan tidak membual. Hantu itu benar ada

dan bisa menampakkan diri dan menakut-nakuti manusia yang hidup. Elia, Marie dan enam

temannya semua terbangun. Pagi dinihari itu mereka semua melihat sosok pria memegang kepala

dan muka tercobek-cabik itu.

Herlina dan Endine, terjatuh ke lantai dan pingsan setelah melihat pemandangan mengerikan itu.

Dalam hitungan detik setelah beberapa orang tumbang, makhluk itu menghilang entah kemana.

Aku berteriak keras memanggil kang Abas di sebelah pagar Villa, tapi kang Abas dan

anak mantunya tidak mendengarkan suara kami. Hingga pagi hari semua tak dapat tidur. Semua

berkumpul di ruang tamu dan berpelukan dengan ketakutan. Teror itu tidak sampai disini saja, tak

lama kemudian, piano berbunyi sendiri memainkan lagu In Fancy Sezoprano. Semua mata kami

serempak ke arah piano. Tak ada satupun manusia yang terlihat sedang memainkan alat musik itu.

Kami makin ketakutan. Semua menutup dan berpelukan di permadani sambil menangis. Suara piano

itu makin lama makin keras dan mataku penasaran melihat lokasi itu. Kulihat dengan jelas sosok pria

tanpa kepala itu duduk di bangku piano dan satu tangannya tetap memegang kepalanya yang

terpotong. Aku kembali menutup mataku dan memeluk dua anakku dan teman-temannya. Jujur saja,

baru kali inilah aku takut. Ya, benar, kali ini pula aku gentar terhadap lingkungan. Kesombonganku

yang selama ini kokoh, hancur lebur malam itu oleh makhluk aneh dan ajaib yang disebut hantu

tanpa kepala itu. Saat ayam berkokok, kami dikejutkan lagi oleh suara yang lain. Hantu tanpa kepala

itu berbunyi ngorok seperti bunyi suara singa terluka. Batinku makin miris, nyaliku semakin ciut.

Sementara jantung terus berdebar seakan detak lonceng kematian bertanda akhir hayat. Matilah

kami, matilah kami beramai-ramai pagi ini! Suara batinku berguncang. Saat matahari yang sinarnya

terlihat masuk di balik kisi-kisi timur dinding Villa, aku mendengar suara kang Abas mengeluarkan

kuda-kuda kami. Aku berteriak sekeras-kerasnya memanggil kang Abas dan kang Abas masuk dari

pintu belakang yang kunci duplikatnya dia pegang. Kang Abas kami peluk dan kami ceritakan apa

yang kami temukan. Kang Abas langsung pucat pasih dan terbata-bata meminta maaf kepadaku. Dia

meminta maaf karena sebelumnya tidak memberitahukan tentang sosok makhluk gaib itu kepadaku.

Apalagi, saat kami menginap di bulan purnama ke 14. Sebab dia hanya muncul di bulan purnama 14

dan seharusnya, kata kang Abas, menghindari Villa di malam terang benderang itu. “Karena ibu baru

memiliki Villa ini, bila saya bercerita dan menyarankan jangan menginap di bulan purnama, takut

ibu salah sangka kepada kami. Dengan bertemunya secara langsung dengan makhluk itu, barangkali

ibu barulah percaya bahwa ada makhluk alam lain di sekitar hidup kita dan bisa berwujud. Bukankah

mantu saya Ujang sudah mengambarkan hal itu pada ibu?” lirih kang Abas. Sejak itu, aku percaya

adanya makhluk alam gaib yang sewaktu-waktu, bila tuhan berkehendak, maka makhluk itu akan

muncul, makhluk itu akan menampakkan diri dan dilihat secara kasat mata. Kekokohan pendirian,

kekuatan rasa ketidakpercayaanku, kini pudar sudah. Dan aku harus mengakuinya, bahwa mereka

memang ada dan bisa kontak dengan kita yang hidup.

Hantu tanpa kepala itu adalah sosok arwah Richard William Hoower, pemilik Villa asal belanda yang

mati dipotong leher oleh jawara Banteng. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1911, dua tahun setelah Sir

Richard menempati rumah perkebunan teh itu. Richard yang duda tanpa anak, dibunuh dalam suatu

perkelahian di kebun dengan mandor kebun pribumi yang diperlakukan dengan kasar olehnya.

Seminggu setelah jenazahnya dikirim ke Hilversum, Netherland, arwah Richard muncul dengan

khasnya, mantel hitam dengan memegang kepalanya sendiri. Richard terus-terusan menampakkan

diri setiap kali bulan purnama 14 di Villa Kenanga. “Hanya di malam itu dia muncul, malam lain

tidak!” kata kang Abas. Kenapa hanya di bulan purnama 14 arwah Richard berwujud, dikatakan oleh

kang Abas, bahwa pembunuhan terhadap bangsa belanda itu terjadi di malam bulan purnama ke 14,

saat desa-desa di Cisarua begitu terang dan tenang. Ketenangan itu tiba-tiba gaduh karena

pembunuhan mengerikan itu terjadi. Jawara itu memotong kepala Richard hingga terlepas dari

lehernya. Hingga sekarang, aku dan anak-anak tidak pernah lagi datang ke Villa untuk menginap.

Kami hanya datang pagi dan pulang sore hari. Walau bukan di bulan purnama ke 14, kami tetap tidak

berani bersantai di Villa itu. Tempat itu hanya kami jadikan berkebunan dan tempat singgah di siang

hari bila ke Puncak. Sedang untuk menginap, kami memilih hotel yang aman dari hantu-hantu.


Blog, Updated at: Oktober 18, 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Download Aplikasi Download Video

Download APK Amazing Videos DOWNLOAD APK

Diberdayakan oleh Blogger.

Kategori

Translate Article